TUGAS AGROGEOLOGI
AGROMINERAL
Disusun oleh:
Tri
Prihatiningsih A0B011053
KEMENTERIAN
PENDIDIKAN NASIONAL
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS PERTANIAN
JURUSAN PERENCANAAN SUMBERDAYA LAHAN
PURWOKERTO
2011
Agromineral dalam
Pertanian
Di masa lalu, tanah mendapat kesempatan
beristirahat untuk memulihkan dan secara alamiah menambah nutrisi mereka
sendiri setelah masa penanaman dan panen. Akan tetapi masa kosong tersebut
sekarang dipercepat, karena tuntutan kebutuhan pangan yang makin meningkat,
sehingga tanah ditekan untuk berproduksi terus-menerus. Tekanan terhadap lahan
pertanian ini secara pasti menurunkan kemampuan lahan untuk memenuhi kebutuhan
nutrisi, karena disamping pemindahan nutrisi-nutrisi dari tanah ke tanaman
melalui panen yang berulang, terdapat proses lain termasuk pelarutan,
penguapan, serta erosi yang terlalu tinggi, sehingga banyak nutrisi yang ikut
menghilang dan tidak mencukupi kebutuhan panen berikutnya.
Untuk memperbaiki nutrisi tanah yang
dikeluarkan, diperlukan penambahan nutrisi, yang umumnya dilakukan petani
dengan jalan pemupukan, baik dengan pupuk organik (pupuk kandang dan kompos),
pupuk buatan, atau beberapa alternatif lain. Pada umumnya petani memilih
menggunakan pupuk buatan, karena mereka menganggap pemakaian pupuk buatan
paling praktis dan menguntungkan, karena hasilnya dapat dilihat dengan cepat.
Akan tetapi para petani jarang dapat menggunakannya sesuai aturan yang berlaku
maupun pada saat yang tepat, sehingga tanah lebih cepat menjadi gersang. Pupuk
larut air membantu mempercepat penyerapan nutrisi dari tanah ke tanaman,
akibatnya disamping lebih cepat kehilangan kandungan nutrisinya, struktur
jaringan tanah juga akan rusak.
Sesungguhnya, agar aliran nutrisi baru
dapat dipasok secara substansial, selain dengan pupuk organik, para petani
dapat juga menggunakan sumber daya agromineral yang ditemukan di sekitar areal
pertanian. Beberapa batuan dan mineral yang terbentuk di alam mengandung
nutrisi untuk tanaman, terdapat secara terkonsentrasi maupun tersebar, sehingga
dapat digunakan sebagai pupuk alternatif dan/atau memperbaiki struktur tanah.
Antara lain batuan fosfat, batuan pembawa potasium, gipsum, dolomit,
batugamping, dan beberapa jenis mineral lain termasuk dalam katagori ini.
Beberapa contoh batuan dan mineral telah
dikenal sebagai agromineral yang terkonsentrasi sebagai endapan ekonomis
adalah:
Ÿ Batuan
fosfat (phosphate rocks /PRs) dengan apatit sebagai mineral fosfat
utama,
Ÿ Fosfat
guano, senyawa kompleks pembawa P dan N,
Ÿ Silvit
(KCl), dan garam-garam komplek pembawa K,
Ÿ K-silikat,
seperti mika, glukonit, dan bat volkanik mengandung K, dan K-zeolit,
Ÿ Sulfur,
sulfida (seperti pirit) dan sulfat (gipsum),
Ÿ Batugamping
dan dolomit sebagai pembawa kalsium dan magnesium karbonat,
Ÿ Beberapa
mineral dan batuan silikat yang digunakan untuk menyimpan nutrisi (zeolit) atau
menyimpan kelembaban (batuapung).
Tidak
semua agromineral yang disebutkan diatas terdapat di Indonesia, karena sebagai
negara kepulauan busur saltpeter tentu tidak ada, juga endapan garam kompleks
pembawa-K. Akan tetapi terdapat beberapa fosfat guano, sedangkan fosfat
sedimenter belum pernah ditemukan. Selain itu, batuan pembawa-K ditemukan dalam
batuan volkanik, gipsum terdapat dalam jumlah terbatas, sedangkan batugamping
dan beberapa batuan lain akan akan dibahas potensinya dalam bab berikut ini
beserta potensinya.
Potensi
Agromineral di Indonesia
Secara geologi,
sebagian besar daratan Indonesia merupakan rangkaian kepulauan busur, dan
secara agronomi merupakan tanah yang cukup subur, karena rempah-rempah volkanik
merupakan sumber nutrisi bagi tanaman. Agromineral yang berasosiasi dengan
batuan volkanik atau batuan gunungapi adalah obsidian, perlit, batuapung, dan
belerang. Demikian pula, dalam cekungan-cekungan sedimenter dapat ditemukan
beberapa jenis agromineral, termasuk batugamping, dolomit, dapat merupakan
sumber daya agromineral. Beberapa jenis sumber daya agromineral yang terdapat
di Indonesia diuraikan di bawah ini.
Batuan Fosfat
Batuan fosfat
merupakan sumber inorganik dari fosfor (P), salah satu nutrisi agronomi yang
bersama dengan nitrogen (N) dan potassium (kalium/K) sangat penting bagi
pertumbuhan secara umum, termasuk pembentukan protein, akar, mempercepat
kematangan bijih, meningkatkan produk bijih-bijihan dan umbi-umbian, serta
memperkuat tubuh tanaman. Oleh karena itu kekurangan fosfor mengakibatkan
tanaman menjadi kerdil, akar sangat sedikit, daun menguning sebelum waktunya
dan secara keseluruhan pertumbuhan akan terhambat. Selain itu pada tanah tropis,
kekurangan P merupakan hal biasa, juga kekurangan kalsium (Ca), keasaman tanah
tinggi, keracunan Al, dan tipis, sehingga jika tidak cepat diatasi, tanah akan
menjadi tandus.
Efektifitas batuan
fosfat secara agronomik tergantung pada beberapa faktor, yaitu faktor batuannya
sendiri, faktor kondisi tanah, jenis tanaman, dan pengaturan pemupukan. Faktor
batuan disebabkan oleh genesa dari berbagai batuan dan mineral pembawa fosfat,
antara lain endapan fosfat sedimen marin, magmatik, metamorfik, fosfat biogenik
dan endapan fosfat karena pelapukan. Masing-masing jenis endapan fosfat
dicirikan oleh sifat mineralogi, kimia dan struktur yang berbeda, sehingga
kecepatan reaksi batuan terhadap tanahpun berbeda. Reaktivitas terbaik adalah
batuan fosfat sedimen marin. Disamping itu, endapan fosfat marin ini pada
umumnya terbentuk sebagai endapan yang ekonomis, sehingga hampir seluruh pupuk
fosfat di dunia berasal dari sumber daya batuan fosfat marin. Pengembangan
batuan fosfat untuk pupuk, rata-rata 75% berasal dari endapan sedimenter atau
batuan fosfat marin, 12-20% dari batuan beku dan endapan residu, dan hanya 1-2%
dari sumber daya biogenik (fosfat guano), hampir semua jenis sumber daya batuan
fosfat terdiri dari berbagai bentuk mineral apatit. Selain apatit, telah
dikenal lebih dari 200 jenis mineral fosfat yang telah diketahui, akan tetapi
kurang popular dan kurang bernilai ekonomis.Beberapa kelompok mineral fosfat
primer diantaranya adalah:
· Fluor-apatit
(Ca10(PO4)6F2) terdapat di
lingkungan batuan magmatik dan metamorf, termasuk karbonatit dan
mika-piroksenit.
· Hidroksi-apatit
(Ca10(PO4)6(OH)2), terdapat pada
lingkungan batuan metamorf dan batuan beku, tetapi juga dalam endapan biogenik,
misalnya endapan tulang.
· Karbonat-hidroksi-apatit
(Ca10(PO4,CO3)6(OH)2)
terutama dijumpai di pulau dan gua-gua sebagai bagian dari kotoran burung dan
kelelawar, guano.
· Frankolit
(Ca10-x-yNaxMgy(PO4)6-z(CO3)zF0-4zF2)
merupakan apatit yang tersubstitusi oleh karbonat, terutama terjadi pada
lingkungan marin, dan sedikit sekali sebagai hasil pelapukan, misalnya dari
karbonatit.
· Kelompok
krandalit, variskit, dan strengit yang merupakan Fe- dan Al-fosfat yang
ditemukan pada lingkungan sekunder pelapukan.
Endapan fosfat yang
ditemukan di Indonesia adalah fosfat guano, yang terbentuk dari tumpukan
sekresi (kotoran) burung atau kelelawar yang larut oleh air (hujan) atau air
tanah dan meresap ke dalam tubuh batugamping, bereaksi dengan kalsit untuk
membentuk hidroksil fluorapatit atau Ca5(PO4)3(OH,F)
dalam rekahan atau menyusup diantara perlapisan batugamping, maupun terendapkan
di dasar batugamping.Umumnya
terdapat secara terbatas dalam gua-gua gamping, terutama di Pegunungan Selatan
Jawa, Gresik, Cepu dan Pati, serta di Pulau Madura. Pada umumnya endapan ini
kurang bernilai komersial karena hanya merupakan urat-urat memanjang yang tidak
menerus, dengan ketebalan beberapa cm sampai 20 cm, walaupun pada beberapa
lokasi dapat mencapai 50 cm. Akan tetapi endapan jenis ini termasuk batuan fosfat
yang cukup reaktif, sehingga dapat sangat berguna untuk memenuhi kebutuhan
lokal, atau dikembangkan dalam skala kecil. Endapan
fosfat tipe guano yang telah teridentifikasi di Indonesia tersebar di 60
lokasi, sekitar 48 lokasi diantaranya ditemukan di Pulau Jawa dan Madura. Kadar
P2O5 tercatat antara 4-40%, akan tetapi pada umumnya
diatas 15%. Total sumber daya fosfat Indonesia hanya sekitar 20 juta ton,
padahal konsumsi fosfat lebih dari 1 juta ton setahun (DIM, 2004).
Menurut literatur,
jenis endapan fosfat guano jarang ditemukan dalam jumlah besar, bahkan di dunia
total sumber dayanya hanya 2% dari seluruh sumber daya fosfat yang ada. Fosfat
guano yang bernilai komersial di dunia baru diketahui di Pulau Christmast dan
Pulau Nauru. Produksi fosfat Indonesia belum dapat memenuhi kebutuhan domestik,
sehingga produsen pupuk harus mengimpor fosfat dari beberapa negara produsen
fosfat, seperti USA, Maroko, dan Cina.
Batuan pembawa kalium
Unsur kalium/potassium
(K) sangat penting bagi pertumbuhan secara umum, bersama dengan nitrogen (N)
dan fosfor (P). Sumber K (kalium/potassium) alam untuk produksi pupuk umumnya
berasal dari endapan potas sedimenter yang terdiri dari silvit (KCl) atau
senyawa kompleks (K,Mg)-klorit dan -sulfat. Pupuk-K ini larut air sehingga cocok
untuk bertindak sebagai pupuk-K dan K-Mg. Tanaman sendiri menyerap K secara alamiah dari
pelapukan mineral K, kompos dan sisa tumbuhan. Akan tetapi mineral pembawa-K
yang paling umum adalah K-felspar, leusit, biotit, phlogopit, dan glukonit,
serta mineral lempung (illit), sedangkan batuan silikat kaya-K yang cepat lapuk
adalah batuan volkanik pembawa leusit.
Banyak
sumber K yang mudah larut diperdagangkan sebagai pupuk-K, misalnya ‘muriate
of potashÂ’ (KCl), akan tetapi garam tersebut dapat menimbulkan masalah
pada tanaman yang peka terhadap garam. Sedangkan penggunaan mineral pembawa-K
yang berstruktur silikat lebih dianjurkan, karena pupuk alam akan melepaskan
nutrisi secara lambat untuk jangka panjang, termasuk batuan fosfat, biotit,
flogopit, dan leusit yang secara berangsur melepaskan K dan Mg. Jika perlu,
kecepatan pelapasan nutrisi dapat dipercepat, tetapi untuk beberapa tanaman
yang memerlukan potasium dalam jumlah besar, seperti pisang, kelapa, dan karet,
pelepasan K yang lambat tersebut bahkan menguntungkan.
Potasium
dalam felspar (K-felspar) pada umumnya sangat resisten terhadap pelapukan,
dimana ion K+ tidak mudah lepas sehingga sukar bagi tanaman
untuk menyerapnya. Sebaliknya, dalam mika dan mineral lempung mikaan yang
mempunyai struktur silikat lembaran, ion K terikat di antara lembaran bersama
Mg2+ dan Fe2+ dalam octahedral, sehingga lebih
mudah terlepas. Phlogopit dan biotit umumnya mengandung K2O>10%,
5-22% MgO dan 5-20% Fe dalam struktur silikat tetapi tidak siap pakai karena
harus diasamkan.
Glukonit adalah
K,Fe-hidromika yang juga mengandung K+, Na+, or Ca2+,
serta Al atau Mg. Glaukonit umumnya terdapat dalam pasir glukonitan yang
berwarna hijau, napalan dan lempungan yang tidak terkonsolidasi, dan diendapkan
dalam lingkungan marin, dekat pantai dengan kecepatan lambat. Glaukonit yang
bersih mengandung lebih dari 11% K2O, sedangkan pasir hijau yang
kaya glukonit umumnya mengandung 5-9% K2O. Glaukonit secara spasial
berasosiasi dengan akumulasi sedimen fosfat.
Di Indonesia, sumber
daya mineral pembawa-K yang ada hanya batuan trakhitik dan riolitik yang baru
tercatat di satu lokasi yaitu G. Kunyit, Lampung, sedangkan tuf riolitik
tercatat di Desa Paga, Sikka, NTT. Selain itu, Formasi Tuf Toba yang
berkomposisi riolitik di sekitar Danau Toba, juga tersebar cukup luas.
Sayangnya K-felspar bukan agromineral yang diharapkan untuk dapat digunakan
langsung. Pada beberapa lokasi K-felspar diusahakan untuk industri keramik.
Disamping itu juga terdapat batuan yang
kaya leusit di sekitar G. Muria, Jepara, Jawa Tengah, yaitu batuan piroklastik,
tephrit, lava basanit, leusitit dan syenit, akan tetapi potensinya belum
dikaji. Namun beberapa perusahaan pernah dilaporkan mengusahakan batuan-batuan
tersebut untuk industri keramik.
Beberapa lokasi lain,
seperti G. Ringgit-Beser dan beberapa jenis batuan beku alkali di Kalimantan
bagian tengah belum sempat diselidiki, sehingga belum dapat dievaluasi
potensinya.
Agromineral untuk Pengkapuran
Di mana-mana keasaman tanah merupakan
masalah yang biasa muncul sehubungan dengan turunnya hasil pertanian, termasuk
negara-negara maju. Kecepatan pelarutan yang tinggi, batuan induk yang tidak
sesuai, dan beberapa hal yang jarang terjadi, seperti pengasaman kimia secara
kontinu seperti pembubuhan ammonium sulfat dalam jumlah besar. Masalah utama
pada areal pertanian yang sangat asam adalah tidak cukup tingginya ion H+ dan
penambahan konsentrasi Al3+ yang sangat beracun pada pH rendah,
serta rendahnya tingkat pertukaran ion Ca2+. Masalah tersebut diatas
pada umumnya ditangani dengan cara pengkapuran.
Semua material yang
mengandung senyawa Ca dan Mg dapat digunakan sebagai bahan pengkapuran untuk
menetralisir keasaman tanah, yaitu meningkatkan pH tanah yang pada dasarnya
menambahkan Ca dan menurunkan Al. Batugamping dan dolomit merupakan material
yang telah digunakan untuk pengkapuran selama berabad-abad, dan sampai sekarang
juga masih digunakan di beberapa negara.
Di Indonesia,
batugamping terdapat hampir di seluruh provinsi, bahkan kabupaten, sehingga
penerapan batugamping/dolomit sebagai ‘agricultural lime’ (kapur
pertanian) sudah sering dilakukan. Kadang petani memakai kapur tohor (‘quicklime’)
yang reaktif sebagai bahan pengkapuran, yang merupakan hasil kalsinasi (‘lime
burning’) batukapur pada suhu antara 900° and 1200°C.
Penggunaan
batugamping/dolomit untuk pertanian masing-masing negara berbeda, tetapi
berkisar dari beberapa beberapa ribu ton per bulan sampai hanya beberapa ton
per musim tanam. Dalam hal penggunaan terhadap tanah dengan daya tahan rendah
disarankan untuk menggunakan batugamping/dolomit tersebut secara langsung.
Karena kapur padam dan kapur tohor (calcined and hydrated limes) lebih
mudah diserap dan akan mempunyai efek ‘membakar’ akar-akar tanaman jika
ditaburkan tak lama sebelum benih ditaburkan atau terlalu dekat dengan bijih.
Aplikasi batugamping mentah (uncalcined limestones) juga menghemat kayu,
yang merupakan sumber energi utama untuk proses kalsinasi. Kebutuhan kapur atau
batukapur/dolomit umumnya tergantung pada pH, konsentrasi Al3+ dan
daya tahan tanah, akan tetapi biasanya antara 2-4 ton per hektar.
Batugamping merupakan
bahan baku industri yang paling umum terdapat di Indonesia, paling tidak
tersebar di 392 lokasi dari Provinsi Aceh sampai Papua dan diperkirakan total
sumber dayanya adalah 2,1 trilyun ton, Sedangkan dolomit sampai akhir tahun
2003, baru tercatat di 24 lokasi dengan total sumber daya lebih dari 1,6 milyar
ton. Dari seluruh sumber
daya, hampir 30% diantaranya berada di NTT dan 30% di Jatim, 18% di Sulawesi
Tenggara dan 18% di Aceh, sisanya terdapat di Sumatra Barat dan Jawa Tengah.
Akan sangat baik jika
ada kerjasama untuk pengkapuran ini antara ilmuwan tanah, ahli geologi, dan
teknisi pengolahan. Ilmuwan tanah membatasi yang keasamannya tinggi sehingga
memerlukan material pengkapuran dan ahli geologi mencari sumber daya
batugamping dan dolomit pertanian di dekat lahan yang memerlukan.
Gipsum
Gipsum merupakan
agromineral yang paling umum digunakan untuk reklamasi tanah yang terinfeksi
sodium (Shainberg et al. 1989), yaitu tanah alkalin hitam (‘black
alkaline soilsÂ’) yang menyerap sodium dalam jumlah berlebih dalam mineral
lempungnya. Tanah tersebut dicirikan oleh permukaan pecah-pecah dan secara
fisik merupakan formasi yang impermeable, dan keras. Proses-proses
pengerasan tanah dan perekahan pada tanah dapat diatasi dengan menyebarkan
gipsum diatas permukaannya, memberikan kalsium terlarut untuk menggantikan
sodium yang terserap pada mineral lempung.
Sulfur
Sulfur penting untuk
semua tanaman, terutama untuk sintesa protein dan lemak, serta mempengaruhi
pembentukan akar dan hijau daun. Kekurangan sulfur dalam tanah akan menyebabkan
tanaman tampak menguning dan tidak mempunyai daya tumbuh. Kekurangan sulfur
sebagian disebabkan oleh rendahnya S karena penebangan tanaman berat, penanaman
yang intensif dan kurangnya daur ulang bahan organik, juga karena penggunaan
pupuk S-bebas secara luas, seperti TSP, MAP, DAP, dan urea. Beberapa jenis
tumbuhan memerlukan sulfur lebih tinggi dari yang lain, seperti tebu, tanaman
biji yang kaya protein seperti cengkeh, dan kol. Sulfur (belerang) sebagai
unsur ditemukan relatif sedikit di banyak daerah volkanik tetapi juga sebagai
bagian dari formasi batuan sedimenter pembawa gipsum (CaSO4.2H2O)
dan anhidrit-(CaSO4). Di
Indonesia sulfur terdapat di sekitar kawah gunungapi, sebagai hasil sublimasi
gas volkanik. Total sumber daya
belerang Indonesia hanya 2,3 juta ton, kira-kira 75% diantaranya adalah sumber
daya hipotetik, 11% sumber daya tereka dan 14% sumber daya terukur, tersebar di
16 lokasi. Di Jawa Barat sendiri tercatat mempunyai sumber daya belerang
(sulfur) yang terbesar, yaitu 1,6 juta ton tersebar di 7 lokasi. Pada umumnya
kadar belerang di Indonesia diketahui ±70% sulfur, berwarna kuning, dengan
lempung sebagai pengotor. Sisanya terdapat di Provinsi Sumatra Utara, Bengkulu,
Nusa Tenggara Barat dan Sulawesi Utara.
Sumber sulfur lain
adalah pirit dan markasit (dua-duanya FeS2) terdapat dalam banyak
formasi sedimenter dengan kemurnian yang bervariasi, dan sebagai penyusun minor
endapan batubara keras. ‘Pirit batubara’ adalah hasil upgrading dan
pemurnian dari hard coals. Pirit juga mineral utama sulfida,
terjadi bersama dengan banyak sulfida logam dasar, yang sering disisihkan
bersama bijih logam berkadar rendah dan endapan pengotor (waste) pada
palong tambang (tailing). Akan tetapi pirit belum pernah dianggap
sebagai satu agromineral karena biasanya berasosiasi dengan logam pengotor yang
cukup beracun, walaupun di India pernah berhasil untuk meningkatkan
produk kacang-kacangan pada tanah karbonatan (Van Straaten, 2000).
Agromineral untuk Nutrisi Mikro
Nutrisi mikro
diperlukan sedikit sekali oleh tanaman, akan tetapi jika berlebihan justru akan
menjadi racun yang cukup mematikan. Termasuk dalam unsur mikro adalah boron,
klorin, kobalt, tembaga, besi, mangan, molibden, dan seng. Beberapa mineral
pembentuk batuan yang mengandung unsur nutrisi mikro dengan konsentrasi yang
paling tinggi adalah:
– Boron
terdapat dalam turmalin, mineral lempung dan garam evaporasi seperti borak dan
kolemanite di daerah gurun yang luas,
– Khlorin
adalah komponen primer dari garam-garam yang biasa ada, halit (NaCl), dan
silvit (KCl),
– Kobalt
umumnya, dalam jumlah sedikit, dalam batuan-batuan ultrabasa,
– Tembaga
(Cu) adalah salah satu unsur dalam beberapa mineral sulfida, yaitu kalkopirit
(CuFeS2), bornit (Cu5FeS4), kalkosit (Cu2S),
atau terjadi dalam senyawa karbonat, yaitu malakhit Cu2(OH)2CO3 dan
azurit Cu3(OH)2 (CO3)2,
– Besi
terdapat sebagai komponen silikat tertentu, dan merupakan unsur logam utama
dalam Fe-oxida seperti hematit, magnetit, goethit/limonit, dan dalam sulfida
(terutama pirit/FeS2),
– Mangaan
terdapat terutama sebagai oksida (pirolusit MnO2, hausmanit Mn3O4,
manganit MnOOH), dan sedikit dalam senyawa Mn-karbonat dan dalam Mn-silikat,
– Molibdenum
terjadi sebagai sulfida (MoS2), dan jarang sebagai molibdit (MoO3)
atau sebagai powellite (CaMoO4) dalam urat
hidrothermal,
– Seng
(Zn) terjadi sebagai sulfida ZnS, karbonat (smithsonite ZnCO3)
atau sedikit dalam magnetit dan silikat.
Akan tetapi, harus
tetap diingat bahwa unsur-unsur tersebut hanya dibutuhkan sedikit sekali untuk
memperbaiki kekurangan. Satu kg MoS2 (molibdenit), misalnya,
mengandung ± 600 g Mo, yang berdasarkan perhitungan cukup untuk 10-20 hektar
tanaman, karena rata-rata perlu 30-60 g total Mo per hektar. Sekarang, pupuk-Mo
adalah Na- dan NH4+-molibdat yang diplikasikan baik dengan pupuk
buatan atau setelah dibentuk mirip biji. Yang jelas, molibdat akan digunakan
untuk suatu lingkungan teroksidasi agar tanaman dapat hidup. Disamping itu,
untuk mengatasi kekurangan nutrisi mikro dapat juga dengan mencoba aplikasi
dari buangan organik, yang pada umumnya mengandung mikronutrisi yang tinggi.
Sumber daya geologi
untuk nutrisi mikro juga cukup beragam, yang paling mudah ditemukan adalah
basal dan serpih hitam. Seperti
di Afrika Selatan, basal merupakan material sisa (waste) penambangan
basal dan ‘granit hitam’ (dolerite). Van Straten (2002) melaporkan
konsentrasi rata-rata nutrisi mikro dalam batuan basaltik (dalam mg/kg) adalah:
B = 5; Cl = 60; Co = 50; Cu = 100; Fe = 86,000; Mn = 2,200; Mo = 1; and Zn =
100. Konsentrasi nutrisi mikro dalam serpih yang biasa, dalam mg kg-1:
B = 100; Cl = 180; Co = 20; Cu = 50; Mn = 850; Mo = 3; and Zn = 100 (Levinson
1974). Serpih hitam yang kaya material organik bahkan mengandung konsentrasi
nutrisi mikro yang jauh lebih tinggi, misalnya rata-rata kandungan Mo adalah 70
mg Mo kg-1 (Ure and Berrow 1982). Akan tetapi batuan-batuan
tersebut harus digunakan dalam kuantitas yang cukup banyak untuk menyediakan
nutrisi mikro di lapangan, oleh karena itu lokasi sumber daya harus cukup dekat
dengan daerah dimana mereka dibutuhkan.
Basal
dalam basis data DIM baru tercatat dua lokasi saja, yaitu di Miomaffo Timur,
NTT dan Bonepante, Gorontalo. Sumber daya total hampir 2,4 milyar ton, tereka.
Disamping itu basal juga terdapat di Kabupaten Tondano, Sulawesi Utara, sumber
dayanya belum diketahui tetapi telah dieksploitasi untuk proyek perluasan
daratan pantai Manado. Sedangkan serpih, tersebar hampir di seluruh provinsi,
terutama berasosiasi dengan batuan-batuan sedimen lingkungan laut – transisi.
Batuan
Pemulih Tanah Lain
Masih
ada beberapa batuan yang dapat digunakan sebagai agromineral yang berfungsi
sebagai pemulih tanah, yang memperbaiki struktur tanah, menjaga kelembaban,
yang akan berujung mempertahankan produktivitas tanah, disampaing dapat
menyediakan nutrisi yang diperlukan. Beberapa diantaranya adalah zeolit,
batuapung dan perlit.
Zeolit
Zeolit
adalah satu kelompok berkerangka alumino-silikat yang terjadi di alam dengan
kapasitas tukar kation yang tinggi, adsorpsi tinggi dan bersifat
hidrasi-dehidrasi. Telah diketahui sekitar 50 spesies yang berbeda dari
kelompok mineral ini, tetapi hanya 8 mineral zeolite merupakan pembentuk utama
endapan volkano-sedimenter, seperti : analcim, chabazit,
klinoptilolit-heulandit, erionit, ferrierit, laumontit, mordenit and
phillipsit. Struktur dari setiap mineral ini berbeda tetapi semua mempunyai
lorong terbuka yang besar dalam structur kristal yang memungkinkan satu
lubang besar untuk penyerapan dan bertukar kation, mengakibatkan
zeolit sangat efektif sebagai penukar kation (Mumpton 1984). Sifat kimia dan fisika lain yang sangat berguna:
- volume
lubang tinggi (mencapai 50%)
- densitas
rendah (2.1-2.2 g cm -3),
- sifat
menyaring molekul sempurna,
- kapasitas
pertukaran kation tinggi (CEC): 150-250 cmol + kg-1,
- selectivitas
kation, khususnya untuk kation ammonium, potasium, cesium, dll.
Zeolit makin banyak
digunakan dalam industri budaya air (Aquaculture), pertanian,
hortikultura, industri kimia, konstruksi, pengaturan bahan buangan dan untuk
penggunaan domestik (Clifton 1987; Mumpton 1984; Parham 1989). Dalam bidang agrikultural/hortikultural
zeolit digunakan sebagai:
- bahan
imbuh makanan hewan,
- sebagai
bahan imbuh tanah dan kompos,
- sebagai
pembawa pestisida dan herbisida,
- sebagai
media tanam.
Di Indonesia dijumpai
pada batuan vulkanik Tersier, seperti di daerah Lampung Selatan, Bayah,
Cikembar, Cipatujah, Jawa Barat dan Nangapada, Kabupaten Ende NTT.
Perlit
Perlit adalah istilah
untuk material gelas volkanik yang tidak diproses dan diproses. Perlit mentah
yang tidak diproses adalah metastabil, amorf, batuan volkanik kaya silika yang
berkomposisi riolitik – riodasitik. Perlit berwarna transparan kelabu terang
– kaca hitam dan mutiara dan mempunyai beberapa rekahan yang konsentrik
menyerupai kulit bawang. Saat dipanaskan pada temperatur 1000°C, batuan akan
mengembang sampai 20 kali dari volume semula oleh penguapan dari uap air yang
terperangkap, berwarna putih, busa gelas yang membentuk perlit komersial,
porous, berbobot ringan, steril, silikat stabil secara fisik dengan sifat penahan
panas yang baik (good thermal insulation), dan pH netral. Perlit yang
mengembang mempunyai densitas masa (bulk density) yang rendah (contohnya
densitas masa dari perlit kasar adalah 0.1 g cm-3) tetapi praktis
tidak mempunyai sifat bertukar kation.
Perlit dalam pertanian
digunakan dalam budaya hidroponik sebagai penyimpan (media) cairan nutrisi yang
dibutuhkan oleh tumbuhan, dengan perlit kita tidak banyak membutuhkan lahan dan
bersih dari kotornya tanah.
Perlit di Indonesia
dijumpai di Rimbo Pengadang, Kabupaten Lebong, Bengkulu, Gunung Kiamis,
Pasirwangi, Kabupaten Garut, Jawa Barat, Bangko, Kabupaten Merangin, Jambi,
Gunung Muhul dan Suoh, Belalau, Gedong Surian, Mutar Alam, Kecamatan Sumber
Jaya, Kabupaten Lampung Barat, Lampung, Nggelu, Kecamatan Sape, Kabupaten Bima,
NTB, G. Batu, P. Beringin, Kecamatan Banding Agung, Kabupaten OKU
Selatan, Sumatera Selatan dan Pancurnapitu, Kecamatan Sipahutar, Kabupaten
Tapanuli Utara, Sumatera Utara. Umumnya berhubungan dengan produk hasil
gunungapi Kuarter. Mempunyai nilai pengembangan (Swelling Value)
berkisar 16 - 329 %.
Batuapung
Batuapung (pumice)
adalah batuan volkanik yang terjadi secara alamiah berwarna muda, secara kimia
dan secara fisika tidak mengganggu, mirip dengan perlit. Batuan ini terbentuk
sebagai hasil dari ekspansi yang hebat dari gas-gas yang terlarut dalam suatu
lava kaya silika kental seperti riolit atau riodasit. Batuan ini ditemukan
dalam endapan yang luas terkonsolidasi dan lepas, dekat dengan pipa volkanik
dari mana material tersebut dilemparkan. Seperti perlit, batuapung mempunyai
pori-pori sehingga menjadi sangat ringan sehingga dapat mengambang
diatas air.
Sumber daya batuapung
dieksploitasi untuk berbagai tujuan, terutama untuk industri bangunan, abrasif
dan batu pencuci jeans, dan hanya sedikit digunakan untuk meningkatkan fungsi
tanah (McMichael 1990). Batuapung yang diproduksi untuk hortikultura diambil
hanya dari endapan lepas dengan pemecahan dan pemilahan. Untuk lingkungan
produksi batuapung lebih ramah daripada penambangan perlit atau vermiculit
karena tidak memerlukan energi yang tinggi untuk ekspansi termal. Alam telah
melengkapi proses-proses tersebut selama pembentukan batuapung.
Dalam banyak endapan
lepas pemecahan menurut ukuran hanya satu-satunya teknologi pengolahan yang diperlukan,
sehingga sangat tidak mahal sebagai media tumbuh. Perbedaan dengan perlit
terutama berhubungan dengan ukuran pori-porinya, bentuk dan ukuran partikel
bebas. Investigasi oleh Noland et al. (1992) memperlihatkan
bahwa batuapung mempunyai sifat fisiko-kimia yang serupa perlit sehingga dapat
digunakan untuk menggantikan perlit yang tidak mahal dalam rumah kaca
pemeliharaan tanaman.
Endapan
batuapung di Indonesia dijumpai di Provinsi Banten, Bali, Jawa
barat, Jawa Timur, Maluku Utara, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur,
Sulawesi Utara dan Sumatera Utara.
Gambut
Gambut
(peat) adalah material organik alam yang unik yang dijumpai dalam sistem
lumpur, tanah basah, rawa dan daerah pantai bawah dimana bahan organik
terakumulasi pada kondisi reduksi. Endapan gambut ditemukan tidak hanya di
belahan utara, tetapi juga di daerah tropis yang luas. Gambut dinilai dari
sifat fisika dan kimianya, mempunyai kapasitas menyimpan air tinggi, serta
kapasitas tukar ion yang tinggi (100-150 cmol kg-1), porositas tinggi,
densitas rendah dan penghantar panas rendah. Sendirian gambut hanya berstatus
nutrisi rendah tetapi tetapi dapat dipakai sebagai pembawa pupuk. Penggunaan
lain dari gambut adalah untuk media bersih untuk mengalirkan minyak, perantara
penyaring instalasi pengolahan limbah, dan sebagai satu sumber energi.
Endapan
gambut di Indonesia dijumpai di daerah yang mempunyai endapan rawa yang luas,
seperti : Provinsi Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur,
Kalimantan Tengah, Sumatera Selatan, Riau dan Lampung.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar